Selalu menyenangkan berbicara tentang nasib, suatu hal yang muskil dikesampingkan dari kehidupan manusia, sebab sepertinya hidup adalah memasang serpihan nasib satu dengan serpihan nasib lainnya, terus menerus.
Membaca kisah kakek Santiago dalam The Old Man and The Sea, seperti disuguhkan untuk melihat kesia-siaan sebagai bagian dari nasib dalam perwujudannya yang nisbi. Akan ada laut yang terus pasang di pundak juga langkah hidup, kesia-siaan sebagai pemantik, bukan sebagai negasi segala yang bermanfaat , memberi sejengkal ruang bagi surut. Mengimbangi segala yang berarti. Semacam kesempatan yang luput dari segala pertimbangan, jika dalam keadaan manusia, ini yang disebut oleh Agamben ‘homo sacer’, ditelantarkan tanpa hak dan eksistensi legal.
Ada banyak ruang di dunia ini bagi hal-hal yang tak berguna, bagi yang sia-sia, betapa sesak dan kelimpungan kita jika semua hal mempunyai arti. Maka jiika hidup tak bisa dilepaskan dari nasib, kesia-siaan tak bisa lepas dari hidup.
Berbeda dengan ke(tidak)beruntungan yang lebih bersifat given, kesiasiaan justru sebagai konsekuensi dari apa yang telah dilakukan dengan sungguh, diperjuangkan, itu juga yang disadari nelayan tua Santiago, ‘Aku tak lagi punya keberuntungan. Tapi siapa tahu? mungkin hari ini. Setiap hari adalah hari yang baru. Memang lebih baik kalau beruntung. Tapi aku lebih suka menjadi tepat. Sehingga saat keberuntungan datang kau sudah siap”. Menjadi tepat ini dianggap sebagai variabel yang nantinya bisa bernilai baik oleh ke(tidak)beruntungan ataupun konsekuensi lain termasuk kesia-siaan.
Keterlemparan Santiago ke dalam kondisi yang oleh masyarakatnya disebut Salao (bentuk terburuk dari ketidakberuntungan) tidak serta merta membuat pembaca —setidaknya saya— untuk sepakat terhadap penilaian kolektif yang menjadi hukuman sosial bagi nelayan tua malang yang gagal menangkap seekor ikan pun selama 84 hari.
Novel tanpa jeda maupun pembagian ini, memerlukan satu tarikan napas panjang yang diawal bisa membuat jemu meskipun disajikan dengan bahasa mengalir dan mudah masuk dalam penggambaran, terlebih jika menghadapinya tidak seperti menghadapi sebuah karya fenomenal, atau sekedar belum mengetahui bahwa novel ini telah membuat penulisnya, Ernest Hemingway, mendapatkan Pulitzer Prize pada tahun 1953 dan Nobel Prize pada tahun 1954.
Keterlemparan Santiago ke dalam kondisi yang oleh masyarakatnya disebut Salao (bentuk terburuk dari ketidakberuntungan) tidak serta merta membuat pembaca —setidaknya saya— untuk sepakat terhadap penilaian kolektif yang menjadi hukuman sosial bagi nelayan tua malang yang gagal menangkap seekor ikan pun selama 84 hari.
Hemingway berhasil menuliskan pergumulan batin Santiago dengan kesendirian dan keterpurkannya menghadapi kondisi ‘ekstrim’ samudera, tempat di mana nasibnya ditulis dengan garam. Terlebih, dalam menggambarkan hubungan emosional antara Santiago dengan Manolin, yang meskipun hanya dihadirkan di bagian awal dan akhir saja tetap menjadi bagian paling menyentuh, membuat kita sejenak berpikir, bagaimana jadinya jika kita tidak pernah mengenal istilah kesia-siaan??